Diposting oleh Ali Kopyor

Kentut adalah keluarnya gas yang berasal dari perut melalui ”knalpot” alami kita. Tak seorangpun di dunia ini yang tidak pernah kentut. Mulai dari bayi sampai orang tua pasti tak luput dari yang namanya kentut. Secara disengaja atau tidak, gas yang ada di perut harus dikeluarkan. Bila tidak, maka dapat dipastikan kita memerlukan tenaga dokter atau ahli medis lainnya untuk mengeluarkannya. Berdasarkan dari kenyataan itu, maka jangan sungkan-sungkan untuk kentut. Kentut itu sehat. Hidup kentut!!!!.
Suatu pagi aku balik dari rumah orang tuaku menuju kos yang ada di pusat kota (bohong lagi.... yang benar di pinggir kota. Cenderung ke pelosoknya deh). Aku duduk di deretan tengah, karena di bagian depan telah penuh oleh penumpang lain. Bermaksud untuk sarapan, aku merogoh tas punggung karena emak sengaja membuat bekal untukku. Tapi ”Astaga” aku tak menemukanya. Aku keluarkan semua isi tas, tapi bekal nasi pecelku telah lenyap. Jangan-jangan ada copet disini. Cepet-cepet aku merogo saku celanaku, ternyata dompetku masih ada. Aku buka dompetku, seluruh uangku masih utuh disana (seluruh? Hallo!!!!! Di dompet hanya ada Rp.4.500,- dan itu adalah seluruh uang yang ada). Apa mungkin sekarang telah muncul modus operandi baru? Copet khusus bekal makanan. Ini bahaya besar, bahaya nasional. Bayangkan saja bila setiap anak yang mempunyai bekal untuk ke sekolah tiba-tiba hilang (bukan anaknya yang hilang. Tapi bekalnya saja). Seharusnya pemerintah mulai membentuk tim untuk menyelidiki dan mempelajari kasus ini. Kasus ini lebih nyata ketimbang kasus korupsi yang bagai menara gading itu. Di Indonesia, kasus pencuri ayam, pencuri mangga, pencuri kelapa, lebih nyata ketimbang kasus-kasus korupsi yang selalu abstrak dan tak terbaca. Mencuri ayam atau tidak, kalau kamu telah disangka mencuri, maka kamu dapat dipastikan akan mendekam di bui. Tapi orang yang jelas-jelas korupsi, belum tentu akan mendekam di bui juga. Orang yang mempunyai banyak uang memang bisa melakukan apa saja, termasuk memelintir pasal-pasal KUHP agar selamat dari jeratan hukum. Tapi jangan kuatir, hal itu udah majemuk di lakukan orang-orang nggak tahu malu itu (jangan pesimis dong!!!). Rakyat awampun sebagai menonton hanya bisa mengelus dada sambil berkata ”itu mah sudah biasa”. Itulah ajaibnya negeri kita, hal buruk yang telah membudaya seakan bukan menjadi sesuatu yang buruk, bahkan bisa menjadi sesuatu yang wajar. (penulis mengingatkan. kesatu: kita tidak sedang ngomongi politik, kedua: kita sedang ngomongi rangsum kamu yang hilang, ketiga: mengacu pada nomor kedua)
Baiklah. Aku lupakan saja makananku yang hilang itu. Positif thinking saja, mungkin makanan itu ketinggalan di rumah orang tuaku. Astaga!!!!!!!!!!!!! Aku baru ingat. Emakku tadi bilang akan membuat bekal sarapan. Pertanyaannya: bekal sarapan buat siapa? Buat aku, anaknya, Atau buat bapakku, suaminya? Bila dilihat dari faktor sayang, sudah jelas emakku lebih sayang sama suaminya (Beliau bapakmu), kalau faktor perhatian, jelas bapakku yang memberikan nafkah pada istrinya (beliau emangmu), sedangkan aku adalah mengurangi jatah nafkah dari bapak ke emak. Jadi dapat disimpulkan dengan jelas bahwa rangsum itu dibuat untuk bapakku, dan bukan buatku. Kasus ditutup. Titik.
Walau masih pagi, udara terasa sangat panas dalam bis yang lebih layak menjadi penghuni musium ini. Penumpang juga mulai memadati bis yang mulai berjalan lambat saking penuhnya. Di sebelahku duduk seorang ibu muda yang dari pertama kali datang menutup hidungnya dengan sapu tangan. Syukurlah, agar tidak menularkan flu yang dideritanya, ibu muda itu cukup tahu diri dengan menutup hidungnya. Aku jadi merasa tenang dan tidak kuatir tertular penyakit meler itu. Tapi...........? saat aku melihat kedepan, kebelakang, kesamping kiri, samping kanan, semua orang sedang menutup hidung masing masing (ya iya lah. Masak menutup hidung orang sebelahnya?). Apakah sedang ada wabah penyakit sehingga semua orang terjangkit flu secara bersamaan? Untung saja kekebalan tubuhku cukup kuat sehingga aku sendiri yang tidak terjangkit. Seorang mahasiswi menatapku dengan pandangan yang menghujam, seakan sangat kesal dan marah. Apa salahku? Aku hanya diam saja, aku juga tak mengganggu siapapun. Perlu digaris bawahi: Aku hanya diam saja dari tadi. Atau dia cemburu karena semua orang dalam bis terjangkit flu kecuali aku? Jangan salahkan aku. Aku tak mengganggu siapapun. Itu juga perlu di garis bawahi. Ok aku ulangi kalimatnya dengan menggunakan garis bawah: Aku tak mengganggu siapapun. Mungkin lebih meyakinkan bila diulangi dengan menggunakan HURUF BESAR dan garis bawah : AKU TIDAK MENGGANGGU SIAPAPUN. (sebenarnya penulis hendak mengedit bagian tidak penting ini. Namun mengingat kemerdekaan berpendapat dan berekspresi maka penulis memutuskan untuk tidak membuang bagian itu). Mula-mula satu atau dua orang yang memandang aku dengan sinis, lama-kelamaan hampir semua orang yang dekat denganku memandang dengan penuh kebencian. Tuhan..... apa salahku? Kemudian aku berfikir keras. Mataku kupicingkan dan keringat deras mengucur dari dahiku (itu bukan ciri-ciri orang sedang berfikir. Itu lebih mirip orang yang sedang buang air besar). Bagaimana kalau orang-orang ini tidak sedang flu melainkan menutup hidungnya karena mencium sesuatu? Kentut misalnya. ”Demi tuhan aku tidak kentut, swear!!!” kataku meyakinkan melihat bertambah banyaknya orang yang memandang sinis padaku. Seorang laki-laki menjawab ”Kamu memang tidak kentut. Tapi bau badanmu kayak kambing yang habis fitnes di gurun pasir”. Aku langsung berdiri ”stop ... stop” kataku pada supir bis yang terkejut yang langsung menginjak rem. Aku lari keluar seperti copet ketahuan massa. Aku berlari buka karena malu, aku hanya bingung, emang ada kambing yang fitness? Trus bagamana bisa di gurun ada tempat fitness? Benar-benar nggak masuk akal.
Bersambung ke bagian dua...........