Diposting oleh Ali Kopyor

Aku berjalan sembari menunggu bis berikutnya yang menuju ke jurusan yang sama. Udara sudah mulai panas namun aku terus berjalan hingga 15 menit kemudian bis yang aku tunggu berhenti di depanku. Bis penuh dengan penumpang sehingga aku harus berdiri. ”tak apa-apa” pikirku, yang penting aku bisa sampai ke kos untuk mandi trus pergi ke kampus karena ada kelas siang. Lima menit berlalu tak ada yang terjadi, namun ketika di menit ke enam, seorang ibu-ibu muda berkata yang ditujukan ke supir ”Saya turunkan dihalte terdekat, bis ini bau banget. Aku nggak tahan”. Beberapa orang mengiyakan bahkan ada yang bilang kalau supir dan kondektur juga mengangkut kambing selain penumpang manusia. ”Kambing lagi?” pikirku ngenes. Aku yakin mereka ngomongi aku, tapi aku bertekad untuk tidak turun dari bis. Siapa yang merasa nggak tahan dengan bau badanku, silahkan turun. ”aku harus bertahan” tekadku. Saat berada di halte terdekat ternyata bukan hanya ibu-ibu muda itu yang turun dari bis, melainkan semua penumpang kecuali aku. Bis kembali berjalan dan hanya berpenumpang satu orang saka. Aku. Senang rasanya bisa merasakan kemerdekaan mencari tempat duduk yang paling aku suka. Senyumku berhenti ketika bis tiba-tiba juga berhenti. ”Jadi kau yang membuat seluruh penumpangku turun? Pantes saja semua nggak tahan dengan bau badan kau yang seperti kambing habis push up 1000 kali.” katanya dengan logat bataknya ”Turun kau!!!!” bentaknya kemudian. Nyesek rasanya, apa salah kambing sampai disudutkan sebegitu rupa. Kasihan juga bila para kambing harus push up 1000 kali. Aku aja Cuma tahan 5 kali saja apalagi para kambing tak berdosa itu (duh gusti mengapa aku menulis tokoh yang begitu bodoh. Harusnya dia prihatin dengan dirinya sendiri, malah prihatin ama kambing). Nanti saja mikirin kambing, aku harus cari bis lagi agar bisa cepat sampai di kos dan tidak terlambat pergi ke kampus. Lumayan lama sampai ada bis yang mau aku stopin. Bis berhenti, aku masuk memalui pintu depan, dua langkah dalam bis tiba-tiba supir bis berteriak. ”Kau turun lagi. Aku hanya mengangkut manusia, aku tidak mengangkut kambing”. Astaga kambing lagi kambing lagi, aku harus minta ma’af pada nenek moyang kambing. Aku memandang sebentar ke arah penumpang yang seluruhnya menutup hidung, kemudian aku turun dengan muka memelas. Aku tak percaya, sebau apakah diriku. Aku coba mencium ketekku sendiri dan ”brukkkkkkk” aku terjatuh. Pingsan.
Aku tersadar saat seekor anjing mengencingin mukaku. Dasar anjing!!!! Emang anjing sih. Tapi aku lagi marah dan ingin mengumpat anjing itu. Masak aku mengumpat ”dasar babi!!!”? bukakankan dia anjing. Oh aku tahu umpatan yang tepat buat dia ”dasar anjing kuraup, nggak pernah disekolahkan orang tuannya, suka ngintip cewek mandi, boros, nggak mungkin kaya lu”. Kepanjangan ya? Sudah lah. Aku yakin sekarang aku tidak bau kambing lagi, api bau kencing anjing juga. Aku harus mandi.
Berjalan menyusuri jalan tanpa berkeinginan menyetop bis lagi. Satu keinginanku. Menemukan empang atau sungai kecil untuk mandi. Setelah berjalan sekitar 10 menit do’aku terkabulkan (rasanya belum ada berdo’a apa-apa), aku menemukan empang kecil dan tak ada orang disana. Sempurna.
Aku berlari kecil menuju empang, namun ternyata aku tak sendiri, ada lima bocah laki-laki yang juga hendak bermain di empang. Mereka kira-kira berumur 7 sampai 10 tahun. Secara bersamaan melepas seluruh pakaiannya. Jangan kuatir, ini bukan adegan porno meskipun mereka telanjang. Apa anehnya anak kecil telanjang, apalagi mereka masih belum benar-benar tahu apa itu malu. Bagaimana dengan aku? Bila aku pakai celana dalam trus nyebur ke empang, bagaimana aku membawanya ke kampus? Mengingat nggak ada waktu lagi untuk pulang ke kos terlebih dulu. Setelah aku menyapu pandang (kosakata baru?) sekitar empang, ternyata hanya ada 5 anak dan aku. Aku pikir aku tak perlu malu bila aku berendam di empang telanjang, mengingat airnya yang lumayan keruh sehingga tidak mungkin anak-akan itu melihat sesuatu yang belum mereka punyai. Namun masalahnya bagaimana dari tempat menaruh baju dan tas ke dalam empang? Nggak mungkin aku telanjang. Bisa-bisa kelima anak itu kesurupan karena dikira sedang melihat hantu? Rasanya aku punya ide. Idenya adalah pakai daun pisang saja, yang penting bisa menutupi bagian terlarang itu. (para pembaca cewek tolong jangan membayangkan yang terlalu gimana. Tokoh kita satu ini nggak ada seksi-seksinya. Kalau horror sih iya). Mula-mula aku memotong daun pisang dengan tangan. Kemudian aku lepaskan satu persatu bajuku. Daun pisang aku tutupkan di daerah sensitif itu. Aku jadi teringat orang yang membuat kue tradisonal yang terbuat dari pisang dan tepung yang kemudian dibungkus daun pisang. Yummy.
Aku berjalan menuju empang dimana tangan kanan memegang daun pisang untuk menutupi daerah depan sedangkan tangan kiri untuk menutupi wilayah belakang. Tapi langkahku tiba-tiba terhenti. Ada 3 ekor kambing yang menghalangi jalanku. Kambing I memandangku, aku balik memandangnya. Kami saling pandang. Kambing betina itu mungkin berharap aku bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Jangan mimpi!!!! Itu tak mungkin terjadi. Kambing II adalah kambing jantan. Awalnya ia memandang ke arah daun pisang, tapi aku pikir ia ingin melihat dibalik daun pisang ini. Sorry sorry jek, aku masih normal. Kemudian ia memandangi wajah, aku memandangi dia sejenak, kemudian aku buang muka. ”Emang gue laki-laki apaan????”. kambing III adalah bandot tua. (btw bandot itu apaan?) kalau kambing jantan tua disebut bandot. (trus mengapa menyebutnya dengan bandot tua? Pemborosan kata dong). Tapi kalau kambing betina tua apakah disebut bandot juga, ya? Sudahlah.... nggak penting banget. Terjadilah percakapan telepati antara manusia dan kambing.
Aku                 : Atas nama manusia aku minta ma’af pada kaum kambing karena manusia sering sekali memojokkan kaum kambing. Hari ini sudah ada ada 3 orang yang mendiskriditkan kaum kambing. Intinya mereka menganggap kambiang adalah binatang yang paling bau.
Kambing III    : Kami tidak keberatan kalau kalian menganggap kami bau. Kenyataannya kami malas mandi. Lagian kalau kami sering mandi, mana ada kambing wangi. Bukan kambing namanya kalau wangi.
Aku                 : *mengangguk-anggukkan kepala kayak bandot
Kambing III    : Tapi kami sangat keberatan dengan pelecehan seksual yang dilakukan manusia pada kambing-kambing betina.
Aku                 : pelecehan seksual?
Kambing III    : kambing-kambing betina yang habis beranak selalu menghasilkan susu yang banyak. Manusia dengan seenaknya mengelus-elus susu kambing betina kemudian memerahnya. Kami para kambing jantan tak pernah bisa melakukan hal itu. Merekapun tak pernah mau bertanggung jawab.
Aku                 : aku setuju. Karena kalau di kalangan manusia, bila seorang laki-laki berani melakukan hal itu pada perempuan, mereka harus bertanggung jawab dengan menikahinya.
Kambing III    : selain itu kaum manusia sering melanggar Hak Asasi Kambing. Mereka sering mengambil susu dari induk betina sedangkan anak-anak kami hanya diberi sisanya saja. Padahal susu sepenuhnya menjadi hak para anak kambing.
Aku                 :  Aku akan mengusulkan pada pemerintah untuk membentuk kementrian Hak Asasi Kambing. Aku janji


Sementara terjadi percakapan telepati, tanpa aku sadari kambing I dan II nyaris menghabiskan daun yang aku pegang di kedua tangan. Aku bergeser menjauh, namun keduanya mengikutiku. Mereka seakan-akan ingin memperkosaku. ”Tidakkkkkkkkkkkkkkkk!!!!” sangat-sangat tidak keren diperkosa oleh para kambing. Akupun berlari ketakutan dan langsung nyebur ke empang yang berisikan 5 bocah yang sedang bermain-main. Setelah berada di dalam empang barulah aku merasa aman dari kejaran para kambing biadab itu. Namun ternyata air empang itu benar-benar dingin, walau matahari sudah mulai panas. Mungkin karena masih pagi sehingga air empang menjadi cukup dingin. Mula-mula aku menyapa bocah-bocah itu yang tak lama kemudian aku telah ikut bermain bersama mereka. Ternyata cukup menyenangkan bermain-main bersama mereka. Aku jadi teringat masa lalu aku di kampungku. Beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar empang adalah kaum laki-laki yang hendak ke sawah atau ladangnya, sehingga kami tak perlu malu, apalagi yang terlihat oleh mereka adalah kepala kami, sedang badan kami terendam dalam air yang berwarna coklat tanah.
Saat bermain-main bersama kelima anak itu, tiba-tiba otot betisku kram. Sakit sekali sehingga aku tak bisa bergerak apalagi berenang. Aku hampir tenggelam, namun kelima anak itu membantuku berenang ke tepi empang. namun ketika hampir di tepi empang tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak. ”Ada cewek lewat!!!!”. semua anak langsung bergegas keluar empang meninggalkan aku sendiri. Kelima bocah itu menyambar bajunya dan berlari meninggalkan tempat empang. Aku sendirian di tepi empang dengan kondisi kesakitan. Datanglah cewek yang dimaksud bocah-bocah tadi dan menghampiriku ”Abang kenapa? Kok kesakitan begitu? Kram ya? Aku bantu naik ya?”. Mati aku. Ada cewek cantik di depanku. Tapi aku dalam keadaan bugil. ”Aku nggak apa-apa, kok. Aku sedang terapi untuk pernafasan, aku sakit maag, eh asma” kataku bohong sembari meringis menahan sakit. Tiba-tiba aku merasa ada yang menginggit pada alat paling vital (tal...tal...tal- pakai echo). Aku menjerit kesakitan. ”Kenapa, mas?” tanya cewek itu ikut panik. Aku menjerit lagi kemudian hanya bisa menagis tak tahu harus berbuat apa. Keluar dari empang artinya bunuh diri dengan memperlihatkan harta paling berhargaku pada cewek yang baru aku kenal. Tapi bila tetap berendam dalam empang, maka bahaya gigitan lele atau binatang apa itu akan menjadi bahaya terbesarku. Aku tak mau masa depanku hanya ditentukan oleh seekor lele. Aku menangis bertambah nyaring. Cewek itu bertambah panik ”Kenapa abang menagis?” tanyanya. ”Aku hanya ingat sama mantan pacarku yang mirip denganmu. Ia mati digigit ikan lele” bohongku disela-sela tangis.
Dalam keadaan normal, bertemu gadis cantik adalah anugerah. Namun dalam keadaan seperti ini, aku lebih bersyukur kalau dia tidak ada disini. ”Mbak, bisa minta tolong?” aku punya ide ”Bisakah mengiring ketiga kambing yang ada disana. Aku alergi pada kambing, sedang bajuku ada di dekat sana”. Ide cemerlangku langsung di laksanakan oleh cewek yang entah siapa namanya itu. Masih dengan kesakitan aku keluar dari empang dan berlari mengambil baju dan segera mungkin memakainya. Dari jauh aku melihat cewek itu masih menggiring kambing entah kemana. Ia menggiring ketika kambing itu jauh sekali, jangan-jangan cewek itu adalah pencuri kambing. Mungkin saja. Perduli amat, aku bukan pemilik kambing itu. Selamat tinggal cewek yang aku nggak tahu namanya. Selamat tinggal kambing I, II dan III.

Bersambung ke bag.3 .......